Oleh Rico Mardianto
Bagi kalangan wartawan dan pegiat sastra
di Kepulauan Riau dan Riau, nama Ramon Damora sudah tak
asing lagi. Dia adalah wartawan senior dan Ketua PWI Kepulauan Riau dua
periode. Dia
juga dikenal sebagai penyair yang produktif menulis. Sajak-sajaknya sudah
sering menghiasi berbagai media.
Ditemui di suatu sore akhir Januari 2016, Ramon dan rekan-rekannya sesama wartawan sedang duduk santai sembari nyeruput kopi di sebuah kantin
di pojok Gedung Graha Pena Batam lantai tiga. Hari itu dia mengenakan setelan
kemeja semi jins dan celana jins biru. Kepada saya, Ramon bercerita masa-masa aktif
sebagai jurnalis pers mahasiswa di Pers Mahasiswa Gagasan dan seniman di sanggar Latah
Tuah IAIN Susqa.
Ramon kuliah di Jurusan Perbandingan
Mazhab Fakultas Syariah. Sebetulnya sang
ayah menginginkan Ramon mengikuti jejaknya di
dunia militer. Namun, Ramon tak berminat sama sekali jadi
tentara dan lebih memilih kuliah di IAIN Susqa Pekanbaru. Di kampus inilah
Ramon memulai prosesnya di dunia seni dan kepenulisan.
Tahun 1996, semester pertama kuliah,
Ramon bergabung dengan pers mahasiswa Gagasan dan
sanggar teater kampus. Dia
memilih dua organisasi ini tak lepas dari keaktifannya di bidang seni dan
kepenulisan semasa di bangku sekolah. Baginya dua komunitas ini sangat cocok
dengan bakatnya,
apalagi ada persinggungan
antara menulis dan seni. Dua
hal itu tak bisa dipisahkan dari dirinya. Menulis
dan bersajak bagai sudah menjadi
nafas kehidupan bagi Ramon.
Dia menekuni seni dan menulis secara
otodidak. Ramon menuturkan, bakat seninya bukan turunan, melainkan bakat yang dikembangkan terus menerus hingga seni
menjadi jiwanya.
“Sejak di bangku madrasah aliyah saya memang
sudah suka menulis, saya sering ikut kegiatan menulis sejak kelas satu aliyah. Menulis puisi sejak
1994.”
Ketika bergabung dengan sanggar teater
kampus, sanggar itu baru didirikan dan
belum diberi
nama. Dia adalah angkatan pertama di sanggar
yang berulang tahun setiap 24 Oktober itu. Ramon terlibat saat para anggota
teater kampus berembuk menentukan nama sanggar tersebut. Ramon masih ingat,
waktu itu ia mengusulkan nama Teater Hira, diambil dari nama sebuah gua yang
menjadi tempat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam menerima wahyu dalam perjalanan spiritual Sang Nabi.
Namun usulnya ditolak kawan-kawannya. Yang disepakati
kemudian adalah Latah Tuah, yang bermakna latah tapi bertuah. Bersama kawan-kawannya
kala itu, Ramon membangun Latah Tuah hingga dikenal sampai ke luar kampus. Setiap kali Latah Tuah
tampil, selalu ramai penonton. Penampilan
Latah Tuah selalu ditunggu-tunggu. Sanggar ini lebih sering menggelar
teater tradisional. Ade Darmawi, salah seorang dosen IAIN, adalah
pembimbingnya. Ade banyak menulis naskah teater untuk Latah Tuah.
“Setiap kali tampil penonton
membludak, berbeda dengan sanggar teater kampus lain,” ujar pengagum Rida K
Liamsi ini.
Ada pegalaman tak terlupakan ketika
Ramon tampil baca puisi. Saat
itu di tahun 1998, ketika gerakan Riau Merdeka mulai bergejolak, di Gedung Dang Merdu Pekanbaru dia baca puisi sembari merobek bendera merah
putih. Sontak penyair legendaris Idrus Tintin naik panggung dan menempelengnya. Ramon lantas kaget dan kecut seketika. “Ha..ha..ha… katanya kau aktor, baru digitukan aja
sudah kecut,” teriak Idris Tintin. Ternyata Idrus Tintin hanya berakting.
Di Gagasan
dia generasi
ketiga, dengan kawan seangkatannya Tatang Yudiansyah, Saidul Tombang, Hendri
Rahman dan yang lainnya. Di
Gagasan juga pertama kali dia mengenal
jurnalistik. “Di
Gagasan saya pertama kali belajar
untuk menghargai deadline dan belajar
manajemen media,” ungkapnya.
Selain sering menyorot isu pergerakan mahasiswa di Riau, pemberitaan Gagasan kala itu juga acap kali mengkritik kebijakan kampus. Pernah suatu hari Ramon
dipanggil menghadap Rektor karena tulisan kolomnya dinilai
terlalu pedas mengkritik Rektor kala itu, Prof Amir Luthfi. Atas kejadian itu, sampai-sampai
anggaran untuk Gagasan sempat tak
dicairkan.
Ramon menuturkan, di Gagasan dia belajar menulis secara
otodidak. “Proses
transformasi di kampus itu lebih banyak kumpul-kumpul sesama aktifis kampus.
Jadi di kampus itu memang otodidak,” ujarnya.
Tahun 2000 sebelum tamat kuliah, Ramon
sudah bekerja di Riau Pos. Suatu ketika dia ditugaskan liputan di Batam
mengenai permasalahan di tubuh Otorita Batam. Hasil reportasenya
menuai pujian dari pemimpin redaksi kala itu. Karena dianggap memahami
konstelasi pemerintahan di Batam
dan pertimbangan lainnya, Ramon dipindahtugaskan ke Batam oleh pemimpin redaksi.
Ramon mulai bekerja di
Sijori Pos (sekarang Batam Pos) awal tahun 2001. Di kota ini Ramon
membangun karir sebagai reporter hingga menjadi salah satu petinggi di Batam Pos grup.
Selain bergiat sebagai wartawan, Ramon juga aktif di Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) Kepri. Organisasi
ini juga yang membesarkan namanya dengan terpilihnya menjadi Ketua PWI Kepri
dua periode.
Menurut Ramon menjadi wartawan lapangan
lebih seru ketimbang bekerja di ruang redaksi. Masa-masa liputan di
lapangan merupakan kenangan yang tak terlupkan olehnya. Banyak pengalaman menarik
yang dia alami. Ketika
ditanya sampai kapan ingin menjadi wartawan, spontan ia menjawab, “Selamanya
saya akan jadi wartawan.”
Begitu juga aktivitasnya
di dunia sastra dan budaya, ia berkhidmat
akan menggeluti dunia seni dan wartawan, dan tak berminat beralih ke profesi
lain. Begitulah ia mencintai dunia
kewartawanan dan sastra.
Kala itu, lantaran asyik
bergelut di dunia kewaratawanan, sampai-sampai Ramon sempat melupakan kewajibannya menyelesaikan skripsi. Tak
dipikirkannya lagi untuk menyusun skripsi. Padahal, saat
itu dia sudah
menghabiskan semua mata kuliah. Hingga
suatu hari di tahun 2004, saat Ramon sedang ngopi
bersama Ade Darmawi, dia ditanya Ade perihal
apa gerangan yang membuatnya enggan menyelesaikan
skripsi. Sejak obrolan hari
itu, Ade mendesak Ramon untuk segera menyusun skripsi. Bahkan Ade sendiri banyak terlibat dalam mengarahkan Ramon menyelesaikan
skripsi. “Begitu
dia menginginkan saya tamat kuliah,” kata Ramon. Berkat motivasi dan
bantuan Ade, akhirnya Ramon diwisuda pada tahun 2004.
Ramon sendiri punya kesan
tersendiri tentang Ade, di mata Ramon, Ade Darmawi
adalah sosok multi
talenta. Ramon
menggelarinya Sultan Teater Riau. Menurut Ramon, Ade merupakan seniman sejati
yang tak hanya produktif berkarya tapi juga
konsisten melahirkan seniman-seniman berbakat.
“Begitu cintanya dengan mahasiswa dia tak beranjak dari kampus,” ujar Ramon.
Bagi Ramon, masa-masa kuliah adalah
kenangan yang tak mungkin dapat ia
lupakan. Bertemu kawan-kawan seperjuangan dan
menemukan jati diri. Ia
menjalani kehidupan sebagai mahasiswa saat kebangkitan kembali pergerakan mahasiswa melawan rezim
otoriter Orde Baru. Kata Ramon, semasa kuliah ia jarang pulang ke rumah lantaran enggan terus ditanya rekan-rekan ayahnya sesama tentara terkait aktivitas aktivis mahasiswa. Hingga kini Ramon
masih sering menjalin komunikasi
dan
dalam beberapa kesempatan ia ikut reunian dengan
kawan-kawannya sesama aktivis kampus.
Nama : Ramon Damora
T/TL : Muara Mahat/2-4-1978
Istri : Nurlelawati
Anak :-Jilan Egha Barry
-Jazzy
Rasyshad Nadim
Jabatan : -Deputi Batam Pos Grup
-Ketua
Yayasan Jembia Emas
-Ketua
PWI Kepri
*Artikel ini pernah dimuat di majalah LPM Gagasan
Komentar
Posting Komentar