Langsung ke konten utama

Kisah Nuraini, 31 Tahun Menjadi Tenaga Honorer

Foto: Rezza/Batam Pos
Sepuluh Kali Ganti Lurah Tak Kunjung Jadi PNS

Statusnya sebagai tenaga honorer kategori K1 sebenarnya membuka peluang lebar bagi Nuraini, 57, untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Namun fakta dan kenyataan di lapangan memaksa dirinya harus mengubur dalam-dalam impiannya itu.

Oleh Rico Mardianto

Nuraini mengacungkan satu per satu jemarinya seraya bergumam. Sambil sesekali mengerutkan keningnya, dia menyebut nama orang-orang yang pernah menjadi lurah Tanjunguma, Kecamatan Lubukbaja, Kota Batam.

”Sudah sepuluh kali lurah berganti sejak saya kerja di sini,” ucapnya, Kamis (3/3/2016).

Lalu tangannya kembali bergelut dengan setumpuk kertas di meja kerjanya. Posisinya di seksi pelayanan umum membuat Nuraini banyak berkutat dengan banyak pekerjaan yang menyita waktu dan tenaganya.

”Sejak awal kerja sampai sekarang saya di kantor ini,” ujar Ani, sapaan akrabnya.

Nuraini merantau ke Batam awal Februari 1984. Awalnya ia tinggal di rumah kakaknya yang saat itu menjabat kepala SDN 01 Batam Barat.

Nuraini menuturkan, ia pertama kali kerja di Kantor Lurah Tanjunguma pada tanggal 25 Maret 1985. Sebelum berubah jadi Kelurahan Tanjunguma pada masa sistem pemerintahan Otonomi Daerah tahun 1999, nama permukiman itu sebelumnya Desa Patam, Kecamatan Batam Barat.

Pertama kali kerja usianya 26 tahun dan belum bersuami. Ia direkrut sebagai tenaga honorer atas rekomendasi Ketua RW di lingkungan tempat tinggalnya. Dia mengatakan waktu itu Camat Batam Barat datang ke rumah Ketua RW minta dicarikan orang yang bisa membantu Kepala Desa di kantor. Ketua RW kemudian meminta dirinya untuk mengabdi di kantor desa tersebut.

Nuraini masih ingat, waktu itu hanya ada tiga orang perangkat desa yang membantu kepala desa, yaitu sekretaris desa, dirinya, dan seorang lagi relawan dari Jambi. ”Pertama kali kerja gaji saya sekitar dua puluh ribu rupiah sebulan,” kata perempuan tamatan SMA Sri Rama Pekanbaru ini.

Di awal tahun 90-an Nuraini pernah ikut pendaftaran seleksi CPNS. Tiga kali berturut-turut dia mengikuti tes CPNS, namun tak juga lulus.

”Cuma lulus administrasi aja, tes wawancara saya tak lulus.”

Nuraini putus harapan dan tak lagi berminat mendaftar seleksi CPNS. Sedangkan rekan-rekan honorernya dulu silih berganti lulus tes seleksi CPNS. Walaupun kepala desa silih berganti, datang dan pergi, namun hingga kini ia masih berstatus tenaga honorer di kantor itu.

Beberapa nama yang pernah menjabat lurah di kantor itu bahkan sudah menduduki posisi penting di Kota Batam saat ini. Mereka antara lain Kepala Dinas Sosial Kota Batam, Raja Kamarulzaman, Kepala Dispenda Kota Batam, Jefridin dan beberapa nama lagi yang ia tak tahu persis jabatan mereka di instansi Pemerintah Kota Batam.

”Yang jelas mereka kepala bagian di beberapa kantor dinas,” ujarnya.

Suami Nuraini bekerja serabutan. Kadang jadi buruh bangunan, kadang mengambil upah menimbang beras raskin di Tanjunguma. Mereka dikaruniai dua orang anak perempuan. Anak pertama kelas 3 SMA dan yang kedua duduk di kelas 2 MTs. Nuraini menikah ketika umur 36 tahun.

Rumah Nuraini tak jauh dari Kantor Lurah, hanya berjarak kira-kira 200 meter. Rumah itu dibeli tahun 1995, hasil jerih payahnya dan suaminya. Rumah berukuran 9×8 meter persegi itu sudah sering direnovasi.

Setiap hari ia berangkat kerja berjalan kaki. Nuraini mengaku menikmati pekerjaannya sebagai pelayan masyarakat. Ada kepuasan tersendiri baginya bisa melayani orang banyak. Ia bersyukur masih bisa menyumbangkan tenaganya di kantor itu dengan gaji yang menurutnya cukup untuk keluarganya, ditambah penghasilan suaminya.

”Saya bekerja dengan ikhlas. Ada tugas saya kerjakan. Selagi tenaga saya masih dipakai saya kerja. Kalau tak dibutuhkan lagi ya sudah sampai di situ,” tuturnya.

Setiap hari Nuraini masuk kerja pukul 7.15 WIB dan pulang pukul empat sore. Menurut Nuraini, saat tiba di kantor, biasanya sudah banyak orang menunggu di depan pintu kantor.

”Paling sibuk biasanya hari Senin,” kata perempuan 57 tahun ini.

Nuraini menuturkan, dirinya pernah disarankan kakaknya mengikuti kursus pendidikan guru paket C tahun 1982 di Tanjungpinang. Walaupun ia tak berminat menjadi guru namun ia menuruti saran kakaknya karena terus didesak.

”Aku pun dulu tak minat jadi guru, tapi setelah dijalani betah sendiri,” ujarnya menirukan perkataan kakaknya puluhan tahun lampau.

Setelah menyelesaikan kursus selama enam bulan, Nuraini benar-benar tidak berminat menjadi guru. Ia sama sekali tak pernah menekuni profesi guru sejak selesai kursus lantaran memang bukan profesi yang ia dambakan. Alasan utamanya, tak percaya diri mengajar di depan kelas.

Pertama kali ia menginjakkan kaki di perkampungan itu, belum seramai sekarang. Menurut Nuraini kampung itu dulu hanya dihuni suku Melayu, penghuni asli Pulau Batam. Mereka umumnya bekerja sebagai nelayan dan ada juga yang jadi buruh di perusahaan di Batuampar.

Perumahan penduduk masih jarang dan lebih banyak rumah panggung. Dulunya di kampung itu banyak pohon kelapa tinggi menjulang. Menurut Nuraini, kampung itu dulunya kental dengan budaya dan kesenian Melayu. Setiap acara memperingati hari jadi Kota Batam, penari-penari kampung itu diundang untuk memeriahkan acara.

Dulu, kata Nuraini, perkampungan itu sering dikunjungi turis dari Singapura, Malaysia dan Korea.

Seminggu dua kali para turis melancong ke kampung itu. Para turis itu dipandu oleh pemandu wisata dari sebuah perusahaan travel. Mereka menyeberang pakai sampan dari pelabuhan, tepatnya di Hotel Pacific sekarang. Dulu Hotel Pacific belum ada.

”Turis-turis itu disambut warga dengan gendang kompang, mereka senang sekali dengan penyambutan kami. Mereka keliling kampung dan singgah minum kelapa di kedai warga,” cerita Nuraini.

Seiring pesatnya pembangunan di Batam yang menarik banyak pendatang dari berbagai daerah untuk mengadu nasib, kampung itu pun jadi pemukiman padat. Rumah liar pun menjamur di perkampungan itu. Kampung itu sudah kehilangan pesonanya dan tak sanggup lagi menggoda pelancong.

Zaman berubah. Hampir setiap tahun rekan kerja Nuraini berganti. Sudah 31 tahun ia menjadi tenaga honorer di Kantor Lurah Tanjunguma. Meskipun tak lagi muda, ia masih semangat mengerjakan tugas-tugasnya. Tangannya masih lincah mengerjakan seabrek kertas di meja kerja. Hanya saja, penglihatannya tak lagi setajam dulu. Sudah sepuluh tahun ia berkacamata. Selain bekerja di kantor, Nuraini aktif di Posyandu dan PKK Tanjunguma.

Di mata rekan kerjanya, Nuraini merupakan sosok yang rajin dan disiplin. Menurutnya Nuraini sosok yang tak banyak bicara.

”Saya sering bertanya ke Bu Ani selama kerja di sini,” ujar Rosminar yang kerja di kantor itu sejak 2014.

Senada dengan Rosminar, Syahril, Lurah Tanjunguma, menilai, Nuraini adalah sosok yang rajin, disiplin dan kreatif.

”Saya juga sering bertanya kepada dia, karena dia berpengalaman masalah administrasi,” pungkasnya.

*Artikel ini pernah dimuat di Koran Batam Pos dan batampos.co.id

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Penyair Ramon Damora

Oleh Rico Mardianto Bagi kalangan wartawan dan pegiat sastra di Kepulauan Riau dan Riau, nama Ramon Damora sudah tak asing lagi. Dia adalah wartawan senior dan Ketua PWI Kepulauan Riau dua periode. Dia juga dikenal sebagai penyair yang produktif menulis. Sajak-sajaknya sudah sering menghiasi berbagai media.  Ditemui di suatu sore akhir Januari  2016,  Ramon dan rekan-rekannya sesama wartawan sedang duduk santai sembari nyeruput kopi di sebuah kantin di pojok Gedung Graha Pena Batam lantai tiga. Hari itu dia mengenakan setelan kemeja semi jins dan celana jins biru. Kepada saya , Ramon bercerita masa-masa aktif sebagai jurnalis pers mahasiswa di  Pers Mahasiswa  Gagasan dan seniman di sanggar Latah Tuah IAIN Susqa. Ramon kuliah di Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah. Sebetulnya sang ayah menginginkan Ramon mengikuti jejaknya di dunia militer . Namun, Ramon tak berminat sama sekali jadi tentara dan lebih memilih kuliah di IAIN Susqa Pekanbaru. Di kampus inilah Ram

Melongok Perkampungan Pemulung di TPA Telagapunggur Batam

Foto: Imam Wachyudi/Batam Pos Mengais Rezeki dari Sampah, Sekolahkan Anak ke Universitas B atam yang didesain sebagai kota industri, galangan kapal, pariwisata dan perdagangan menarik warga Indonesia dari berbagai penjuru mengadu nasib. Sebagian perantau yang kurang dibekali keterampilan kalah saing lalu bertahan hidup mengais rezeki dari tumpukan pembuangan sampah. Oleh Rico Mardianto Bulir-bulir keringat terus mengalir dari wajah Indrayani. Matahari bersinar terik di atas ubun-ubun wanita 47 tahun itu, Senin (1/2). Ditambah lagi hawa panas dari sampah yang terbakar di ujung barat tempat pengelolaan akhir (TPA) sampah Telagapunggur. Kepulan asap tebal mengandung racun dari sampah yang terbakar menyebar ke setiap penjuru. Namun Indrayani tak mempedulikannya. Sesekali ia menyeka peluh di wajah dengan punggung tangannya. Bau busuk yang yang menguar dari sampah di sekelilingnya seolah tak terendus lagi olehnya karena sudah menjadi ‘santapan hidung’ sehari-hariny