Langsung ke konten utama

Melongok Perkampungan Pemulung di TPA Telagapunggur Batam

Foto: Imam Wachyudi/Batam Pos

Mengais Rezeki dari Sampah, Sekolahkan Anak ke Universitas

Batam yang didesain sebagai kota industri, galangan kapal, pariwisata dan perdagangan menarik warga Indonesia dari berbagai penjuru mengadu nasib. Sebagian perantau yang kurang dibekali keterampilan kalah saing lalu bertahan hidup mengais rezeki dari tumpukan pembuangan sampah.

Oleh Rico Mardianto

Bulir-bulir keringat terus mengalir dari wajah Indrayani. Matahari bersinar terik di atas ubun-ubun wanita 47 tahun itu, Senin (1/2). Ditambah lagi hawa panas dari sampah yang terbakar di ujung barat tempat pengelolaan akhir (TPA) sampah Telagapunggur. Kepulan asap tebal mengandung racun dari sampah yang terbakar menyebar ke setiap penjuru. Namun Indrayani tak mempedulikannya.

Sesekali ia menyeka peluh di wajah dengan punggung tangannya. Bau busuk yang yang menguar dari sampah di sekelilingnya seolah tak terendus lagi olehnya karena sudah menjadi ‘santapan hidung’ sehari-harinya. Sesaat kemudian ia berhenti mengais sampah, lalu berjalan menuju pondok kecil di tengah lautan sampah di tengah TPA. Indrayani bercerita tentang kehidupannya selama menekuni pekerjaan sebagai pemulung di TPA Telagapunggur, Kelurahan Kabil, Kecamatan Nongsa, Batam.

“Merantau ke sini pengen mengubah nasib. Pengen membesarkan anak-anak biar bisa sekolah,” tutur Indrayani.

Indrayani tinggal bersama suami dan dua anaknya di Kampung Karawang, salah satu permukiman di sudut TPA. Mereka tinggal di sebuah rumah petak semipermanen. Suami Indrayani, Marban (53), juga bekerja mengais barang rongsokan. Mereka sebenarnya punya empat orang anak. Anak sulung kuliah di Universitas Putra Batam, jurusan Sastra Inggris. Anak kedua sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Sedangakan dua anak lagi tinggal bersama mereka—anak ketiga duduk di bangku kelas 1 SMP dan yang bungsu kelas 4 SD. Anak-anaknya sekolah di Kavling Sejunjung—tak jauh dari lokasi TPA tersebut.

Indrayani dan Marban berasal dari Cirebon, Jawa Barat. Tiga tahun lalu ia datang ke Batam menyusul suamainya yang lebih dulu mengadu nasib di Batam. Mengais rezeki dari timbunan sampah di TPA Telagapunggur. Semasa di kampung, ia berjualan kebutuhan pokok di depan rumah. Penghasilan dari mengais barang rongsokan tak seberapa bagi Indrayani namun cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak-anaknya. “Tak menentu dapatnya dalam sehari. Kalau lagi rezeki Rp 100 ribu sehari dapat,” katanya.

Ada tiga perkampungan mengelilingi TPA Telagapunggur yakni Kampung Karawang, Kampung Kenanga dan Kampung Rantau. Tiga perkampungan ini mulai ditempati berangsung-angsur oleh pendatang sejak TPA tersebut dioperasikan tahun 1997. Sebagian besar pendatang di tiga perkampungan tersebut berasal dari Jawa Barat. Maka tak heran, sehari-hari mereka berbahasa Sunda. Sebagian besar warga bekerja sebagai pemulung di TPA yang luasnya kurang lebih 47 hektare itu.

Namun ada juga yang menjadi buruh kasar di perusahaan sekitar Nongsa. Akses listrik di tiga perkampungan tersebut berasal dari perusahaan swasta. Tagihan listrik tiap bulannya tentu labih tinggi. “Di rumah kami pakai beberapa lampu dan satu kulkas, bayarnya lebih Rp 300 ribu sebulan,” keluhnya. Sedangkan air untuk kebutuhan cuci dan masak dibeli dari penjual air keliling seharga Rp 10 ribu satu drum ukuran 150 liter.

Kampung Karawang adalah kampung paling padat penduduk di dibanding dua kampung lainnya. Sedikitnya ada 160-an rumah di sini. Kampung tersebut terletak di atas bukit di sudut TPA. Tiap ruas jalan di tiga kampung ini masih tanah. Sehingga tiap hujan turun menjadi kubangan lumpur sepanjang jalan. Permukiman di sekeliling TPA jauh dari jamahan pembangunan pemerintah. Permukiman penduduk di sekeliling TPA tampak semrawut. Barang-barang rongsokan berserakan di tiap pekarangan rumah warga. Gundukan barang ronsokan yang sudah dikarung bahkan hampir menghalangi akses menuju pintu masuk rumah. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain kira-kira satu meter, juga ada yang berdempet-dempet.

Indrayani dan suaminya biasanya mulai mengais sampah sekitar pukul 10 pagi setiap harinya. Sebelum turun ke lautan sampah itu, ia masak dan beres-beres rumah terlebih dahulu. Bermodalkan pengait besi dan keranjang sampah, pasangan suami istri itu berebut dengan puluhan bahkan ratusan pemulung lain. Sampah yang dipungut antara lain kaleng minuman, besi, tembaga dan berbagai jenis plastik. Barang-barang rongsokan yang sudah dikarung itu dijemput langsung oleh pembeli ke lokasi pemungutan sampah.

Namun ada juga sebagian pemulung yang menjual langsung barang rongsokan hasil cariannya ke tauke penampungan barang rongsokan di sekitar Nongsa. Harga plastik umumnya Rp 1.000 per kilo gram. “Kalo harga besi lagi anjlok sekarang, cuman Rp 500 sekilo, biasanya Rp 1.500 sekilo,” ujar Indrayani.

Bekerja mengais sampah harus cekatan dan semangat. Kalau lambat gerak, kata Indrayani, sampah-sampah yang berharga habis dipungut pemulung lain. Siapa cepat dia dapat. Perlu kerja keras buat mendapatkan barang rongsokan sebanyak mungkin. Banyaknya barang ronsokan yang didapat tergantung kesigapan. Tak ada rasa geli melihat belatung bergeliat di sana-sini dan bau sampah menyengat dari sampah makanan yang sudah membusuk. “Kami nyari sampah dari pagi sampai sore,” ujar Indrayani.

Di lokasi pembuangan sampah itu ada beberapa warung kopi. Saat tengah hari, beberapa pemulung singgah di sana sekadar ngobrol melepas lelah. Para pemulung biasanya pulang dari mengais ketika matahari tampak kemerahan di ufuk barat.
Karwiyah (45), rekan Indrayani sesama pemulung juga bernasib sama. Ia dan suaminhya serta empat anaknya tinggal di Kampung Karawang. Karwiyah dan suaminya adalah perantau dari Karawang, Jawa Barat. Sudah menetap di perkampungan itu sejak setahun lalu. Sehari-hari ia berjualan kebutuhan dapur dan makanan ringan di rumahnya, terkadang ikut membantu suaminya mengais sampah.
Berbeda dengan Indrayani, bagi Karwiyah penghasilan keluarganya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. “Hidup di sini susah,” keluh ibu lima anak ini saraya mencuci botol-botol plastik bekas di samping rumuahnya.

Seorang pemulung sekaligus koordinator lapangan di tiga perkampungan itu mengatakan, kehidupan warga di tiga perkampungan itu berjalan damai. Jarang terjadi keributan. Menurutnya setiap lebaran warga di tiga perkampungan ini jarang ada yang pulang kampung. Suasana lebaran tidak semeriah di kampung halaman. “Kalau salat Id di masjid di kawasan Kaveling, di sini cuman ada musala,” kata lelaki paruh baya yang sudah tinggal di Kampung Karawang selama lima tahun.

Pemulung lainnya Ros (50), tinggal di Kampung Kenanga sejak 2003 berdua dengan suaminya. Kondisi fisiknya terlihat lebih tua dibanding usianya karena beban hidup yang ditanggung. Anak-anaknya yang sudah berkeluarga tinggal di Jawa. Ros mengais sampah sendirian. Suaminya yang sudah renta tinggal di rumah. Ros mengaku pernah bersuamikan seorang tentara dan hidup senang, namun bercerai beberapa puluh tahun lalu. Sejak cerai dari suaminya, Ros mengaku hidupnya terombang-ambing. Ia merantau ke mana-mana melanjutkan hidup. Terakhir, bersama suami keduanya ia menetap di Kampung Kenanga, bekerja mengais barang rongsokan selama belasan tahun. “Tinggal nunggu takdir aja. Kalau sudah mati aman. Tamat riwayat,” tutur Ros. 

*Artikel ini pernah dimuat di harian Batam Pos

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Nuraini, 31 Tahun Menjadi Tenaga Honorer

Foto: Rezza/Batam Pos Sepuluh Kali Ganti Lurah Tak Kunjung Jadi PNS Statusnya sebagai tenaga honorer kategori K1 sebenarnya membuka peluang lebar bagi Nuraini, 57, untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Namun fakta dan kenyataan di lapangan memaksa dirinya harus mengubur dalam-dalam impiannya itu. Oleh Rico Mardianto Nuraini mengacungkan satu per satu jemarinya seraya bergumam. Sambil sesekali mengerutkan keningnya, dia menyebut nama orang-orang yang pernah menjadi lurah Tanjunguma, Kecamatan Lubukbaja, Kota Batam. ”Sudah sepuluh kali lurah berganti sejak saya kerja di sini,” ucapnya, Kamis (3/3/2016). Lalu tangannya kembali bergelut dengan setumpuk kertas di meja kerjanya. Posisinya di seksi pelayanan umum membuat Nuraini banyak berkutat dengan banyak pekerjaan yang menyita waktu dan tenaganya. ”Sejak awal kerja sampai sekarang saya di kantor ini,” ujar Ani, sapaan akrabnya. Nuraini merantau ke Batam awal Februari 1984. Awalnya ia tinggal di rumah kakakny

Profil Penyair Ramon Damora

Oleh Rico Mardianto Bagi kalangan wartawan dan pegiat sastra di Kepulauan Riau dan Riau, nama Ramon Damora sudah tak asing lagi. Dia adalah wartawan senior dan Ketua PWI Kepulauan Riau dua periode. Dia juga dikenal sebagai penyair yang produktif menulis. Sajak-sajaknya sudah sering menghiasi berbagai media.  Ditemui di suatu sore akhir Januari  2016,  Ramon dan rekan-rekannya sesama wartawan sedang duduk santai sembari nyeruput kopi di sebuah kantin di pojok Gedung Graha Pena Batam lantai tiga. Hari itu dia mengenakan setelan kemeja semi jins dan celana jins biru. Kepada saya , Ramon bercerita masa-masa aktif sebagai jurnalis pers mahasiswa di  Pers Mahasiswa  Gagasan dan seniman di sanggar Latah Tuah IAIN Susqa. Ramon kuliah di Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah. Sebetulnya sang ayah menginginkan Ramon mengikuti jejaknya di dunia militer . Namun, Ramon tak berminat sama sekali jadi tentara dan lebih memilih kuliah di IAIN Susqa Pekanbaru. Di kampus inilah Ram