Langsung ke konten utama

Memberangus Kebebasan Akademis


Lagi-lagi peristiwa memalukan terjadi di kampus UIN Suska Riau. Sehari jelang pelaksanaan kuliah umum bertajuk “Meracik Fiqh Nusantara Mewujudkan Masyarakat Rahmatan Lil Alamin” dengan pembicara Prof Dr KH Nadirsyah Hosen, di media sosial heboh rencana penolakan oleh sekelompok mahasiswa. Acara yang sedianya digelar di aula Gedung Rektorat pada 17 Mei, terpaksa dialihkan ke Hotel Grand Suka Pekanbaru lantaran mendapat penolakan dari kelompok mahasiswa tadi.

Atas kejadian ini, Rektor UIN Suska Prof Dr Munzir Hitami, yang hadir di acara itu meminta maaf secara lisan dalam sambutannya dan dilanjutkan secara tertulis kepada pembicara yang merupakan tokoh Nahdlatul Ulama dan dosen senior Monash University, Australia itu. Rektor sangat menyayangkan penolakan oleh BEM UIN Suska sebab hal itu jelas-jelas telah melukai kebebasan mimbar akademik yang selama ini kita panggul.

Mereka yang menolak, menganggap pemikiran Gus Nadir, panggilan akrab Nadirsyah Hosen, berbahaya sehingga dikhawatirkan mencuci otak mahasiswa kampus Islam ini. Mereka takut kampus ini dikotori oleh paham-paham liberal. Dengan stok informasi yang seberapa adanya mengenai sosok yang akan didatangkan, mereka menyatakan sikap: Tolak Tokoh Islam Liberal. 

Padahal ini adalah kesempatan baik bagi mereka untuk menanyakan atau meminta klarifikasi langsung pandangan-pandangan Gus Nadir yang dinilai kontroversial itu. Dengan ‘menutup pintu gerbang kampus’, mereka sama saja telah menolak kesempatan untuk meluruskan persepsi dan bertabayun sebagaimana yang selama ini digaung-gaungkan. Sayang seribu sayang, watak eksklusif yang terus dipupuk telah menjadikan orang-orang itu tak bisa berlaku adil terhadap perbedaan wacana dan larut dalam diskursus satu pemikirian.

Lain hal kalau seminar yang diadakan mengangkat topik tentang bahaya kesesatan Syiah, bahaya laten komunis misalnya, atau paham apa saja yang menurut mereka berpotensi merusak pemikiran dan mendangkalkan akidah, mereka begitu bergairah mengkritisi, padahal tak satu pun tokoh dari aliran yang mereka anggap sesat itu dihadirkan. Tapi ketika seminar yang mendatangkan Ulil Abshar Abdalla dengan dua orang pembicara pembanding beberapa tahun lalu, kelompok mahasiswa ini tetap ngotot menolak dan mengusir Ulil yang ketika itu sudah berada di lokasi.

Sikap penolakan itu mencerminkan kedangkalan berpikir. Sebagai insan akademis, mestinya mereka tahu bahwa prinsip dunia kampus adalah kebebasan berbicara. Kampus adalah ruang diskusi ilmiah untuk beragam diskursus pemikiran untuk kemudian ditelaah. Kampus adalah tempat di mana orang bebas mau bicara tentang apa saja—dan itu dijamin undang-undang. Kalau tak sepemikiran dengan pembicara yang dihadirkan, silakan dipatahkan argumennya di forum terbuka, bukan malah memboikotnya lantaran takut dengan pemikirannya. Dus, kampus bukan tempat memuja kemandekan berpikir. Jika kampus sudah tanpa kebebasan berbicara, jelas kalah dengan warung kopi, pasar, dan forum-forum lain di luar kampus.

Seharusnya mereka tahu, para pendiri UIN menginginkan lembaga pendidikan ini menjadi kiblat riset dan studi keislaman dengan integrasi keilmuan dan menghapus dikotomi. Dengan begitu diharapkan mahasiswa UIN berpikir terbuka dan menghargai perbedaan. Dari sinilah semua wacana pemikiran bermula untuk dikaji dan dikembangkan sebagai upaya menghadapi tantangan zaman buat mengembalikan kejayaan Islam, sebagaimana diramalkan. Kejayaan Islam mustahil akan tercapai jika kita menutup diri terhadap perbedaan.

Kita tahu bagaimana pada masa puncak kegemilangan khasanah pengetahaun Islam pada masa Dinasti Abbasiyah misalnya, semua pemikiran ditampung untuk dijadikan objek kajian lalu dikembangkan. Fenomena ini juga yang melahirkan pemikir-pemikir besar di berbagai bidang ilmu pengetahuan kala itu, yang membawa kemajuan untuk umat manusia.

Bukankah perdebatan antara Al Ghazali dan Ibnu Rusyd menjadi bukti bahwa pada masa lalu perbedaan pemikiran dilawan dengan pemikiran, karya dilawan dengan karya? Inilah yang namanya perang pemikiran, bukan dengan cekal-mencekal, bubar-membubarkan.

Akhir-akhir ini fenomena cekal-mencekal dan membubarkan suatu kegiatan kian menjadi tren. Seiring semakin menguatnya politik identitas, orang-orang dengan gampangnya sesat-menyesatkan, kafir-mengkafirkan dan menuduh kelompok lain tanpa mau berdialog. Merasa diri paling benar dan menganggap yang lain sesat dan keliru. 

Maka tak heranlah, fenomena ini meyebabkan semakin suburnya benih-benih intoleransi dan kejumudan berpikir yang semakin gawat. Seharusnya kepicikan pemikiran ini yang harus dienyahkan dari lingkungan kampus mana pun. Perguruan tinggi, terutama kampus UIN mestinya menjadi yang terdepan dalam menjawab tantangan dengan menghadirkan tokoh-tokoh dari pelbagai aliran dan ideologi.

Ironis. Kasus semacam ini bukan sekali terjadi di kampus kita. Menyikapi ini, pihak kampus tak cukup hanya meminta maaf, tapi harus menjamin kebebasan mimbar akademik dari ancaman dan tekanan. Perbuatan tidak terpuji tersebut harus ditentang dan dilawan karena selain memalukan, niscaya juga mematikan semangat intelektual yang merupakan ranah berkembangnya ilmu pengetahuan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Nuraini, 31 Tahun Menjadi Tenaga Honorer

Foto: Rezza/Batam Pos Sepuluh Kali Ganti Lurah Tak Kunjung Jadi PNS Statusnya sebagai tenaga honorer kategori K1 sebenarnya membuka peluang lebar bagi Nuraini, 57, untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Namun fakta dan kenyataan di lapangan memaksa dirinya harus mengubur dalam-dalam impiannya itu. Oleh Rico Mardianto Nuraini mengacungkan satu per satu jemarinya seraya bergumam. Sambil sesekali mengerutkan keningnya, dia menyebut nama orang-orang yang pernah menjadi lurah Tanjunguma, Kecamatan Lubukbaja, Kota Batam. ”Sudah sepuluh kali lurah berganti sejak saya kerja di sini,” ucapnya, Kamis (3/3/2016). Lalu tangannya kembali bergelut dengan setumpuk kertas di meja kerjanya. Posisinya di seksi pelayanan umum membuat Nuraini banyak berkutat dengan banyak pekerjaan yang menyita waktu dan tenaganya. ”Sejak awal kerja sampai sekarang saya di kantor ini,” ujar Ani, sapaan akrabnya. Nuraini merantau ke Batam awal Februari 1984. Awalnya ia tinggal di rumah kakakny

Profil Penyair Ramon Damora

Oleh Rico Mardianto Bagi kalangan wartawan dan pegiat sastra di Kepulauan Riau dan Riau, nama Ramon Damora sudah tak asing lagi. Dia adalah wartawan senior dan Ketua PWI Kepulauan Riau dua periode. Dia juga dikenal sebagai penyair yang produktif menulis. Sajak-sajaknya sudah sering menghiasi berbagai media.  Ditemui di suatu sore akhir Januari  2016,  Ramon dan rekan-rekannya sesama wartawan sedang duduk santai sembari nyeruput kopi di sebuah kantin di pojok Gedung Graha Pena Batam lantai tiga. Hari itu dia mengenakan setelan kemeja semi jins dan celana jins biru. Kepada saya , Ramon bercerita masa-masa aktif sebagai jurnalis pers mahasiswa di  Pers Mahasiswa  Gagasan dan seniman di sanggar Latah Tuah IAIN Susqa. Ramon kuliah di Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah. Sebetulnya sang ayah menginginkan Ramon mengikuti jejaknya di dunia militer . Namun, Ramon tak berminat sama sekali jadi tentara dan lebih memilih kuliah di IAIN Susqa Pekanbaru. Di kampus inilah Ram

Melongok Perkampungan Pemulung di TPA Telagapunggur Batam

Foto: Imam Wachyudi/Batam Pos Mengais Rezeki dari Sampah, Sekolahkan Anak ke Universitas B atam yang didesain sebagai kota industri, galangan kapal, pariwisata dan perdagangan menarik warga Indonesia dari berbagai penjuru mengadu nasib. Sebagian perantau yang kurang dibekali keterampilan kalah saing lalu bertahan hidup mengais rezeki dari tumpukan pembuangan sampah. Oleh Rico Mardianto Bulir-bulir keringat terus mengalir dari wajah Indrayani. Matahari bersinar terik di atas ubun-ubun wanita 47 tahun itu, Senin (1/2). Ditambah lagi hawa panas dari sampah yang terbakar di ujung barat tempat pengelolaan akhir (TPA) sampah Telagapunggur. Kepulan asap tebal mengandung racun dari sampah yang terbakar menyebar ke setiap penjuru. Namun Indrayani tak mempedulikannya. Sesekali ia menyeka peluh di wajah dengan punggung tangannya. Bau busuk yang yang menguar dari sampah di sekelilingnya seolah tak terendus lagi olehnya karena sudah menjadi ‘santapan hidung’ sehari-hariny