Langsung ke konten utama

Mengenal Dee Moriarty, Aktivis Habitat for Humanity


Dambakan Batam Bebas Permukiman Kumuh

Banyaknya warga Batam yang tinggal di rumah tak layak huni membuat Dee Moriarty prihatin. Bersama komunitas Women Build, dia bertekad membangun rumah untuk warga miskin di kota ini. Semuanya diberikan secara cuma-cuma.

Oleh Rico Mardianto

Suasana atrium Mega Mall Batamcenter terlihat cukup ramai dipadati pengunjung, akhir pekan lalu. Siang itu, para pengunjung memadati stan-stan bazar yang digelar oleh Dee Moriarty bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Komunitas Women Build.

Alunan musik yang menghentak menambah semarak suasana. Ada 17 stan yang dibuka dalam bazar itu. Setiap stan menawarkan dagangan yang beragam. Mulai dari aksesoris, busana, makanan ringan, dan sebagainya. Sebagian besar anggota Women Build itu adalah wanita bule yang dirangkul Dee. Komunitas ini merupakan bentuk solidaritas sesama wanita ekspatriat untuk kegiatan sosial.

”Itu kue dan aksesoris buatan mereka sendiri. Kain batik itu juga hasil kegiatan mereka membatik,” ujar Dee yang saat itu mengenakan baju komunitasnya berbahan kaos warna hijau.

Pengunjung yang datang tak hanya warga lokal tapi juga turis mancanegara.

Beberapa pengunjung tampak takjub melihat hasil kerajinan tangan wanita-wanita bule itu. Mereka bertanya macam-macam mengenai barang-barang hasil kreasi para wanita bule itu.

Salah satunya baju batik hasil keterampilan tangan salah seorang wanita ekspatriat asal Australia yang stannya tepat di sebelah stan Dee. Beberapa pengunjung yang singgah di stan milik Dee memasukkan beberapa lembar uang ke dalam kotak sumbangan berukuran kecil berbahan plastik bening di atas meja stan itu.

Dee tampak semangat bercerita tentang kegiatan komunitasnya sambil menunjukkan brosur dan foto-foto rumah yang dibangun dari hasil menggalang dana dari komunitas ini. Di stan Dee tersedia kue kering dan beberapa aksesoris yang ia buat bersama temannya, Jackie, perempuan asal Amerika.

Begitulah kegiatan yang sering diadakan komunitas Women Build dari mal ke mal setiap tahunnya. Komunitas ini didirikan sejak 2014. Pengelola mal menyediakan mereka tempat secara cuma-cuma selama beberapa hari. 20 persen uang hasil dagangan anggota komunitas itu akan didonasikan ke pundi Women Build untuk selanjutnya diserahkan ke Yayasan Habitat for Humanity sebagai dana pembangunan rumah sederhana bagi keluarga kurang mampu.

Komunitas itu dibentuk berawal dari keprihatinan Dee melihat banyak masyarakat kurang mampu di Batam menghuni rumah tak layak huni. Suatu hari di Bulan Maret 2014, Dee yang kala itu masih baru beberapa minggu menetap di Batam, jalan-jalan menelusuri Kota Batam bersama suaminya, Tom Moriarty, yang bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produksi kontak lens di Kawasan Industri Batamindo.

Pasangan asal Irlandia ini tercengang ketika melihat masih banyaknya orang-orang pinggiran yang menghuni rumah tak layak huni di kota industri dan pariwisata ini. Kontras sekali dengan kondisi di negara mereka yang rata-rata penduduknya sudah makmur.

Hati kecil Dee terpanggil untuk membantu keluarga menengah ke bawah itu agar memiliki rumah layak huni. Dee kemudian berpikir untuk membuat sebuah komunitas sosial membantu menyediakan rumah layak huni bagi keluarga kurang mampu.

Apalagi di Batam dia tak bekerja. Daripada hanya berleha-leha di rumah, Dee yang sejak remaja sudah aktif di berbagai kegiatan sosial ingin terus berkontribusi bagi orang-orang yang membutuhkan uluran tangannya.

”Dari kecil orang tua saya mengajari saya berbagi. Saya bersyukur punya rumah layak huni dan penghasilan keluarga bagus. Ketika ke sini lihat orang susah, jadi terpanggil untuk membantu,” tutur perempuan penyuka soto ayam ini.

Setelah mencari informasi di internet, akhirnya dia menemukan Habitat for Humanity, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO) bertaraf internasional yang bergerak di bidang pembangunan rumah layak huni bagi keluarga kurang mampu. LSM ini cukup dikenal di Amerika dan Eropa.

Di Indonesia, LSM ini telah berdiri di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Batam. Di Batam sendiri LSM ini sudah berdiri selama 12 tahun. Dia pun menghubungi LSM itu dan mengajukan niatnya untuk membantu LSM itu menggalang dana.

Dia kemudian memprakrasai sebuah komunitas yang diberi nama Women Build di Batam. Anggotanya sebagian besar wanita ekspatriat yang ikut suami kerja di Batam. ”Ketika saya ajak, mereka senang karena bisa membantu orang-orang yang tidak mampu,” ujar perempuan 50 tahun ini.

Habitat for Humanity saat ini fokus membangun rumah layak huni di kawasan Kabil sejak 2014.

Pembangunan rumah di Kabil terpencar di 21 RW. Hingga Desember 2015 terdata 1. 929 kepala keluarga yang akan menerima bantuan rumah. Sedikitnya sudah 200 lebih rumah dibangun di Kabil.

Rencananya pembangunan di kawasan ini akan berlangsung sampai 2018 dan lanjut ke kawasan lain. Sebelumnya LSM ini sudah membangun sebanyak 1.727 rumah layak huni di kawasan Dapur 12, Batuaji, Batam, selama 10 tahun. Sehingga khusus di Batam, LSM ini sudah membangun sekitar 1.927 rumah untuk warga miskin di Batam.

”Mereka tidak dipungut biaya apa-apa, tapi mereka juga harus keluar keringat ikut serta membangun rumah untuk mereka. Rumah yang kami buatkan ini memiliki dua kamar satu dapur tapi belum diplaster. Mereka tinggal plaster sendiri,” ungkap wanita berkacamata ini.

Agar rumah yang diperuntukkan bagi warga kurang mampu benar-benar tepat sasaran, komunitas ini melibatkan Ketua RT dan RW dalam proses pendaftaran. Selain itu, keluarga yang terdaftar harus memiliki tanah yang legal.

”Nanti tim dari Habitat survei, benar enggak lahannya legal dan penghasilan keluarga tersebut tergolong tidak mampu. Setelah hasil seleksi diumumkan, diadakan public hearing (pertemuan). Jadi warga boleh sampaikan keberatan, apakah benar keluarga yang didata tidak mampu,” jelas Dee.

Dee mengaku puas bisa membantu mewujudkan impian keluarga kurang mampu untuk memiliki rumah idaman. Apalagi rumah merupakan kebutuhan primer. Bagi Dee, hidup adalah untuk menolong sesama. Sejak di Irlandia Dee memang sudah biasa membantu orang-orang yang membutuhkan uluran tangan. Di negara asalnya itu dia pernah bergabung di komunitas yang menyediakan anjing-anjing penuntun bagi orang-orang buta.

Nita, salah seorang relawan Women Build asal Batam mengatakan, Dee adalah sosok yang berjiwa sosial tinggi. ”Tujuannya mulia. Ingin turut serta membangun Indonesia. Sangat membantu program pemerintah 100 persen bebas pemukiman kumuh,” ujar Nita.

*Artikel ini pernah dimuat di Koran Batam Pos.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Nuraini, 31 Tahun Menjadi Tenaga Honorer

Foto: Rezza/Batam Pos Sepuluh Kali Ganti Lurah Tak Kunjung Jadi PNS Statusnya sebagai tenaga honorer kategori K1 sebenarnya membuka peluang lebar bagi Nuraini, 57, untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Namun fakta dan kenyataan di lapangan memaksa dirinya harus mengubur dalam-dalam impiannya itu. Oleh Rico Mardianto Nuraini mengacungkan satu per satu jemarinya seraya bergumam. Sambil sesekali mengerutkan keningnya, dia menyebut nama orang-orang yang pernah menjadi lurah Tanjunguma, Kecamatan Lubukbaja, Kota Batam. ”Sudah sepuluh kali lurah berganti sejak saya kerja di sini,” ucapnya, Kamis (3/3/2016). Lalu tangannya kembali bergelut dengan setumpuk kertas di meja kerjanya. Posisinya di seksi pelayanan umum membuat Nuraini banyak berkutat dengan banyak pekerjaan yang menyita waktu dan tenaganya. ”Sejak awal kerja sampai sekarang saya di kantor ini,” ujar Ani, sapaan akrabnya. Nuraini merantau ke Batam awal Februari 1984. Awalnya ia tinggal di rumah kakakny

Profil Penyair Ramon Damora

Oleh Rico Mardianto Bagi kalangan wartawan dan pegiat sastra di Kepulauan Riau dan Riau, nama Ramon Damora sudah tak asing lagi. Dia adalah wartawan senior dan Ketua PWI Kepulauan Riau dua periode. Dia juga dikenal sebagai penyair yang produktif menulis. Sajak-sajaknya sudah sering menghiasi berbagai media.  Ditemui di suatu sore akhir Januari  2016,  Ramon dan rekan-rekannya sesama wartawan sedang duduk santai sembari nyeruput kopi di sebuah kantin di pojok Gedung Graha Pena Batam lantai tiga. Hari itu dia mengenakan setelan kemeja semi jins dan celana jins biru. Kepada saya , Ramon bercerita masa-masa aktif sebagai jurnalis pers mahasiswa di  Pers Mahasiswa  Gagasan dan seniman di sanggar Latah Tuah IAIN Susqa. Ramon kuliah di Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah. Sebetulnya sang ayah menginginkan Ramon mengikuti jejaknya di dunia militer . Namun, Ramon tak berminat sama sekali jadi tentara dan lebih memilih kuliah di IAIN Susqa Pekanbaru. Di kampus inilah Ram

Melongok Perkampungan Pemulung di TPA Telagapunggur Batam

Foto: Imam Wachyudi/Batam Pos Mengais Rezeki dari Sampah, Sekolahkan Anak ke Universitas B atam yang didesain sebagai kota industri, galangan kapal, pariwisata dan perdagangan menarik warga Indonesia dari berbagai penjuru mengadu nasib. Sebagian perantau yang kurang dibekali keterampilan kalah saing lalu bertahan hidup mengais rezeki dari tumpukan pembuangan sampah. Oleh Rico Mardianto Bulir-bulir keringat terus mengalir dari wajah Indrayani. Matahari bersinar terik di atas ubun-ubun wanita 47 tahun itu, Senin (1/2). Ditambah lagi hawa panas dari sampah yang terbakar di ujung barat tempat pengelolaan akhir (TPA) sampah Telagapunggur. Kepulan asap tebal mengandung racun dari sampah yang terbakar menyebar ke setiap penjuru. Namun Indrayani tak mempedulikannya. Sesekali ia menyeka peluh di wajah dengan punggung tangannya. Bau busuk yang yang menguar dari sampah di sekelilingnya seolah tak terendus lagi olehnya karena sudah menjadi ‘santapan hidung’ sehari-hariny