Langsung ke konten utama

Mengenal A Yong, Rekrut Anak Jalanan jadi Pemain Barongsai

Pernah merasakan keras dan pahitnya hidup sebagai anak jalanan membuat A yong banyak berempati. Pria keturunan Tionghoa ini mencoba menyelamatkan masa depan anak jalanan di Batam dengan dilatih kesenian Tionghoa di sanggar miliknya. Umumnya merupakan warga non-tionghoa.

Oleh Rico Mardianto

A yong tampak serius memberikan arahan para pemain barongsai di salah satu mal di Batam, Kamis (11/2) lalu. Meski mereka sudah lama dilatih, A Yong tetap ingin memastikan mereka tampil dengan sempurna, siang itu. Tepuk tangan penonton bergemuruh seketika. Tanda penampilan para pemain barongsai itu usai. Dan tentunya juga pertanda mereka puas dengan penampilan anak didik A Yong dari Sanggar Perkumpulan Hoaliang Batam tersebut.

Namun pemandangan yang sedikit berbeda luput dari perhatian penonton. Saat para pemain barongsai itu membuka kostumnya, ternyata sebagian besar dari pemain barongsai itu merupakan warga non-tionghoa. Bukan keturunan Tionghoa, seperti kebanyakan pemain barongsai di sanggar-sanggar lainnya. "Mereka sudah saya latih selama berminggu-minggu," kata A Yong mengawali perbincangan.

Pria yang akrab disapa Ajinomoto itu membenarkan, sebagian besar anak didiknya merupakan warga non-tionghoa. Sebelumnya, mereka merupakan anak jalanan yang ia rekrut dan ia didik di Sanggar Perkumpulan Hoaliang miliknya di Komplek Sumber Agung Blok C Nomor 10, Jodoh, Batam.

Selain belajar tari barongsai, mantan anak jalanan ini juga belajar tarian dan kesenian Tioghoa lainnya. Mereka juga diajarkan disiplin, tata krama, dan lain sebagainya. "Sebelumnya, mereka ada yang pecandu narkoba," kata A Yong.

A Yong, Pemilik Sanggar Perkumpulan Hoaliang. Foto: Chyntia

Awalnya A Yong mengajak beberapa anak jalanan, selanjutnya mereka yang sudah dididik oleh A Yong mengajak kawan-kawannya yang lain. Ada yang betah belajar hingga mahir, tapi ada juga yang tak bertahan lama dan memilih kembali ke jalanan. Kalau sudah begini, A Yong mengaku tak bisa berbuat banyak. Ia tak mau memaksakan kehendak. "Mungkin karena sudah terbiasa hidup bebas dan tak bisa lepas dari ketergantungan narkotika," katanya.

Sudah hampir dua puluh tahun A Yong merekrut anak-anak jalanan. Mereka yang direkrut umumnya masih berusia belasan tahun. Di sanggarnya itu, A Yong juga berkomitmen mengembalikan moral anak jalanan itu. Dia ingin mereka menjadi orang baik. "Tujuan saya mendidik anak-anak jalanan agar lepas dari narkoba dan 'ngelem'. Kalau mereka pakai narkoba mereka pasti maling, jambret untuk beli narkoba. Satu hal yang saya tekankan pada mereka, jangan panjang tangan," katanya.

Di sanggar itu, A Yong juga memenuhi semua kebutuhan anak didiknya. Berbagai fasilitas yang tersedia bebas digunakan oleh anak-anak jalanan yang kebanyakan laki-laki. Baginya, anak-anak tersebut sudah dianggap anak sendiri. Mereka dibelikan pakaian dan aksesoris. Setiap hari, A Yong juga rutin mengunjungi anak-anak binaanya di sanggar.

"Saya didik mereka agar setelah keluar dari sini bisa bekerja. Jangan sampai pakai narkoba lagi. Saya bilang kalau kalian di penjara saya tak kan jenguk. Saya pasti kecewa karena kalian sudah saya didik sekian tahun," ujarnya.

Anak didik A Yong usai tampil di salah satu mal di Batam, Kamis (11/2/2016. Foto: Julita
Momen perayaan Imlek memang selalu membawa berkah tersendri bagi A Yong dan sanggarnya. Sebab grup barongsainya selalu mendapat undangan dan permintaan untuk tampil. Mulai dari mal hingga wihara. Setiap hari, khusus di musim Imlek, penghasilan A Yong dan grup barongsainya lumayan besar. Antara Rp 2 juta hingga Rp 4 juta. Padahal mereka hanya tampil setengah hari saja.

A Yong sendri tidak tinggal di sanggar. Dia menetap di Batamcenter bersama istri dan seorang anaknya yang masih sekolah. Sebenarnya ia mempunyai tiga orang anak. Namun dua orang lagi sudah berkeluarga. Istri dan anak-anaknya tidak keberatan dengan kegiatannya merekrut dan membina anak-anak jalanan. Istrinya membuka toko busana di Batamcenter.

A Yong belajar barongsai sewaktu tinggal di Singapura selama tiga tahun. "Saya tak pandai bisnis. Sejak kecil saya tertarik dengan kesenian seperti melukis, barongsai dan lain sebagainya. Saya ingin melestarikan tradisi Tionghoa," kata pria paruh baya ini.

A Yong mengaku prihatin dengan kehidupan anak jalanan. Apalagi ia pernah bernasib seperti anak-anak jalanan tersebut. Di jalanan anak-anak tersebut hidup keras. Hidup tanpa aturan dan berbaur dengan orang-orang dengan segala karakternya. Acapkali mereka mengalami tindak kekerasan dari preman jalanan lainnya. Tak sedikit yang yang terjerumus dalam penggunaan obat-obat terlarang.

A Yong mengakui, butuh waktu lama mengajar anak-anak tersebut untuk bisa disiplin dan berperilaku baik. Untuk itu, A Yong menyelipkan nilai-nilai sosial dalam mendidik mereka. Misalnya, mereka diajari mandiri dengan disuruh masak dan gotong-royong di sanggar. Sesekali A Yong mengajak mereka berkumpul dan memberikan pencerahan bagi mereka, terkadang mereka sampai meneteskan air mata mendengar wejangannya.

"Tak gampang mengajari mereka. Maklumlah, sebelumnya mereka tinggal di lingkungan orang-orang yang tidak baik. Awalnya mereka masuk sanggar baju bertumpuk-tumpuk, sampah berserakan. Tapi sekarang tidak lagi. Sudah berubah," katanya.

Semasa kecil, A Yong juga hidup sebagai anak jalanan di Tanjungpinang. Orangtuanya meninggal sejak ia masih balita. Tinggal dengan orangtua angkatnya yang hidup susah, membuat A Yong harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Semasa muda, ia pernah mengadu nasib ke Jakarta, Medan dan kota-kota lainnya. Ia sudah kenyang pengalaman merasakan pahit getir kehidupan sebagai wong cilik.

"Saya tahu betul bagaimana kerasnya kehidupan anak jalanan. Saya pernah merasakan kelaparan. Makanya saya ingin didik mereka agar bisa cari kerja dan hidup mandiri," tuturnya.

Menurut A Yong, anak-anak binaannya sudah banyak yang bekerja. Berkat luasnya jaringan pertemanan, A Yong bisa menitipkan anak-anak binaanya kepada rekan-rekannya yang punya usaha. Bahkan anak-anak binaannya itu ada yang bekerja di Filipina, Singapura, Vietnam dan negara-negara jiran terdekat.

A Yong mengaku, terkadang sanggarnya mendapat bantuan uang dari pengusaha-pengusaha Tionghoa. Tapi dia lebih berharap ada pihak lain yang peduli dengan nasib anak-anak jalanan.

Hasil jerip payah A Yong membina anak-anak jalanan tak sia-sia. Menurutnya anak-anak tersebut tak hanya punya kesadaran untuk memiliki masa depan yang lebih baik namun juga menjadi taat pada orangtua. "Saya selalu nasihati mereka. Sebelum orangtua meninggal, kalian harus berbakti sama orangtua. Beruntung kalian masih punya orangtua. Saya dari kecil orangtua saya meninggal," tuturnya.

Saat ini ada sekitar 30-an anak binaannya di sanggar tersebut. Lima orang perempuan dan sisanya laki-laki. Pernah ia menampung hingga 70-an anak jalanan di sanggarnya. Reza, salah seorang pemain barongsai, mengaku betah tinggal di Sanggar Perkumpulan Hoaliang. Sudah setahun ini ia dibina di sanggar itu. Bahkan ia lebih sering tinggal di sanggar daripada di rumah orangtuanya.

Sebelumya remaja 17 tahun ini hidup sebagai anak jalanan yang sering nongkrong di persimpangan jalan di Kota Batam. Remaja kelahiran Aceh ini mengaku dibawa ibunya merantau ke Batam ketika umur 12 tahun. Senada dengan Reza, Kiki Arkitabenes, remaja perempuan 17 tahun ini mengaku betah tinggal bersama teman-temannnya di sanggar. Dara berperawakan kecil ini sudah tinggal di sanggar milik A Yong sejak dua tahun lalu.

Sebelumnya ia merupakan anak jalanan dan pemakai narkoba. Sulit bagi Kiki untuk bisa lepas dari ketergantungan narkoba, namun karena dorongan yang kuat dari dalam diri dan lingkungan sekitar, Kiki akhirnya bisa lepas dari kecanduan narkoba. Hal ini tak terlepas dari upaya keras dari A Yong.

Kata dia, dia diminta berjemur setiap pagi agar zat-zat narkotika keluar dari tubuh bersama keringat. Hasilnya ternyata cukup manjur. Lambat laun Kiki mulai terbebas dari jeratan narkotika. "Saya betah tinggal di sanggar karena lebih banyak teman dan bisa belajar barongsai dan gendang mati," pungkasnya.

*Artikel ini pernah dimuat di harian Batam Pos.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Nuraini, 31 Tahun Menjadi Tenaga Honorer

Foto: Rezza/Batam Pos Sepuluh Kali Ganti Lurah Tak Kunjung Jadi PNS Statusnya sebagai tenaga honorer kategori K1 sebenarnya membuka peluang lebar bagi Nuraini, 57, untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Namun fakta dan kenyataan di lapangan memaksa dirinya harus mengubur dalam-dalam impiannya itu. Oleh Rico Mardianto Nuraini mengacungkan satu per satu jemarinya seraya bergumam. Sambil sesekali mengerutkan keningnya, dia menyebut nama orang-orang yang pernah menjadi lurah Tanjunguma, Kecamatan Lubukbaja, Kota Batam. ”Sudah sepuluh kali lurah berganti sejak saya kerja di sini,” ucapnya, Kamis (3/3/2016). Lalu tangannya kembali bergelut dengan setumpuk kertas di meja kerjanya. Posisinya di seksi pelayanan umum membuat Nuraini banyak berkutat dengan banyak pekerjaan yang menyita waktu dan tenaganya. ”Sejak awal kerja sampai sekarang saya di kantor ini,” ujar Ani, sapaan akrabnya. Nuraini merantau ke Batam awal Februari 1984. Awalnya ia tinggal di rumah kakakny

Profil Penyair Ramon Damora

Oleh Rico Mardianto Bagi kalangan wartawan dan pegiat sastra di Kepulauan Riau dan Riau, nama Ramon Damora sudah tak asing lagi. Dia adalah wartawan senior dan Ketua PWI Kepulauan Riau dua periode. Dia juga dikenal sebagai penyair yang produktif menulis. Sajak-sajaknya sudah sering menghiasi berbagai media.  Ditemui di suatu sore akhir Januari  2016,  Ramon dan rekan-rekannya sesama wartawan sedang duduk santai sembari nyeruput kopi di sebuah kantin di pojok Gedung Graha Pena Batam lantai tiga. Hari itu dia mengenakan setelan kemeja semi jins dan celana jins biru. Kepada saya , Ramon bercerita masa-masa aktif sebagai jurnalis pers mahasiswa di  Pers Mahasiswa  Gagasan dan seniman di sanggar Latah Tuah IAIN Susqa. Ramon kuliah di Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah. Sebetulnya sang ayah menginginkan Ramon mengikuti jejaknya di dunia militer . Namun, Ramon tak berminat sama sekali jadi tentara dan lebih memilih kuliah di IAIN Susqa Pekanbaru. Di kampus inilah Ram

Melongok Perkampungan Pemulung di TPA Telagapunggur Batam

Foto: Imam Wachyudi/Batam Pos Mengais Rezeki dari Sampah, Sekolahkan Anak ke Universitas B atam yang didesain sebagai kota industri, galangan kapal, pariwisata dan perdagangan menarik warga Indonesia dari berbagai penjuru mengadu nasib. Sebagian perantau yang kurang dibekali keterampilan kalah saing lalu bertahan hidup mengais rezeki dari tumpukan pembuangan sampah. Oleh Rico Mardianto Bulir-bulir keringat terus mengalir dari wajah Indrayani. Matahari bersinar terik di atas ubun-ubun wanita 47 tahun itu, Senin (1/2). Ditambah lagi hawa panas dari sampah yang terbakar di ujung barat tempat pengelolaan akhir (TPA) sampah Telagapunggur. Kepulan asap tebal mengandung racun dari sampah yang terbakar menyebar ke setiap penjuru. Namun Indrayani tak mempedulikannya. Sesekali ia menyeka peluh di wajah dengan punggung tangannya. Bau busuk yang yang menguar dari sampah di sekelilingnya seolah tak terendus lagi olehnya karena sudah menjadi ‘santapan hidung’ sehari-hariny