Langsung ke konten utama

Menyesali Kelangkaan Porapora

Oleh Rico Mardianto

Siska Nainggolan tak pernah menyangka, ikan porapora yang dulu pernah menjadi sumber mata pencarian utama keluarganya kini nyaris punah. Tak ada lagi hasil tangkapan porapora yang mencapai 50 kilogram lebih dalam sehari, tak ada lagi penghasilan mencapai dua juta lima ratus ribu rupiah per minggu. “Entah kemana lagi cari ikan porapora, enggak tahu,” ucapnya putus harapan.

Istilah klasik 'penyesalan selalu datang terlambat' terjadi juga pada warga Ajibata, Toba Samosir, Sumatra Utara. Ajibata Berjarak 60 kilometer dari Agibata, ibu kota Toba Samosir.

Mayoritas penduduk Ajibata bekerja sebagai nelayan. Siska adalah satu dari ratusan warga Ajibata yang kini menyesali kelangkaan porapora. Penyesalan yang datang dari sikap naif warga--menangkap ikan membabi buta terus menerus--diperparah dengan cara penangkapan dengan doton, pukat harimau dan net halus mempercepat laju kepunahan porapora.  “Ya menyesallah,” ketus ibu delapan anak ini.

Donna Nainggolan bernasib sama dengan Siska, wanita 46 tahun ini pernah menjadi nelayan bersama suaminya Charles Sitanggang. Sejak Populasi porapora mulai berkurang di perairan Danau Toba, Donna tak lagi membantu suaminya menangkap ikan. Ia banting setir kerja di ladang orang berkebun kopi dan bawang. Kadang ia harus berpindah dari ladang satu ke ladang yang lain. Penghasilannya tentu saja tak sebesar ketika menangkap porapora.  Ia masih ingat, kala itu tiga tahun pascapenebaran benih porapora,  Danau Toba disibukkan dengan hiruk pikuk nelayan menangkap porapora. Perekonomian warga menggeliat maju. Kedai makanan menjamur. “Dulu semua lancar,” katanya.
Siska Nainggolan dan Donna Naiggolan/Foto: Rico
Namun aktivitas penangkapan porapora kian hari kian menyepi seiring berkurangnya populasi ikan yang juga dikenal dengan nama ikan Bilih di Sumatra Barat. “Sekarang cari sekilo saja sudah susah,” keluhnya dengan logat Batak yang kental.

Warga Ajibata pernah mengalami masa kejayaan pada tahun 2005 hingga 2012 ketika porapora menjadi mata pencarian andalan. Hampir semua warga bekerja menangkap porapora. Sebab, harganya cukup menggiurkan. Lima ribu rupiah per kilogram. Bibit ikan yang dibawa dari Danau Singkarak itu pertama kali dibudidayakan di Danau Toba pada tahun 2003 oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatra Utara. Ternyata Danau Toba adalah habitat yang cocok untuk perkembangbiakan porapora.

Hanya dalam hitungan dua tahun porapora menjadi hamparan di sepanjang danau terluas di Sumatra ini. Menurut penelitian dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatra Utara, perkembangan porapora hanya dalam waktu tiga bulan. Dari kurun waktu 2005 hingga 2012, porapora menjadi primadona mata pencarian sebagian besar warga sekitar Danau Toba.

Di masa melimpahnya populasi Porapora, banyak agen-agen yang menampung hasil tangkapan nelayan untuk dijual ke luar daerah. Sangat mudah menangkap porapora kala itu. Sekali tebar jala bisa menangkap hingga tiga kilogram porapora. Perekonomian warga sekitar Danau Toba terus meningkat dari penjualan Ikan ini.
Ikan Porapora/net
Melihat prospek porapora yang menjanjikan, tahun 2010 Ramlan Tampubolon, mantan aktivis sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang advokasi konflik agraria, berinisiatif membuka usaha pengolahan porapora. Kala itu ia baru saja keluar dari LSM tersebut. Ia mengolah produk Porapora setengah jadi dan dalam bentuk krispi. Tak disangka produknya laris di pasaran. Bujet yang digelontorkan sebesar Rp60 juta per bulan. Tak hanya di Parapat dan Medan, produk olahan poraporanya bahkan didistribusikan hingga ke luar daerah.

Keberadaan usaha pengolahan ikan ini meningkatkan perekonomian warga sekitar. Porapora yang sebelumnya dijual ke agen-agen dengan harga seribu lima ratus rupiah per kilo gram, di tempat penampungan Ramlan dihargai Rp5.000 per kilogram. Tak heran kemudian warga berbondong-bondong menjual porapora kepadanya. Untuk usaha ini Ramlan mempekerjakan enam karyawan dengan gaji bersih satu juta rupiah per bulan.

Namun masa jaya itu hanya tinggal cerita. Awal tahun 2013 kelangkaan porapora mulai terasa.  Hingga 2014 populasi porapora menurun drastis. Porapora bak tenggelam di palung danau. Warga hanya bisa gigit jari. Satu per satu warga mulai banting setir. Ada yang kembali ke ladang, ada yang jadi buruh bangunan, dan tak sedikit yang menganggur. Warung kopi yang dulunya ramai perlahan berubah sepi.  Perekonomian warga Ajibata memasuki fase memilukan. Kini, Siska dan suaminya kembali bekerja ke ladang menggarap kebun kopi dan bawang milik orang. Upah yang diterima jauh dari kata cukup. Hanya berkisar Rp65.000 hingga Rp75.000 per hari.

Usaha Krispi Porapora  Ramlan turut melesu. Meski masih beroperasi namun tak sebesar yang dulu.”Kita hanya produksi bila ada yang mesan,” katanya. Bahan baku sudah mahal. Harga Porapora per kilogram mencapai Rp16.000. Ia terpaksa harus memulangkan karyawan-karyawannya.

Sejak mencapai puncak kelangkaannya di tahun 2014, hingga kini pemerintah setempat belum melakukakan pembibitan kembali. Bosron Dolok Saribu, Lurah Pasauran menjelaskan, beberapa tindakan yang telah dilakukan pemerintah setempat untuk memberdayakan kembali potensi perikanan Danau Toba antara lain merekomendasikan warga untuk mengolah ikan bawal. Pemerintah telah memberikan pelatihan pengolahannya.

Namun, kualitas olahan bawal tetap tak bisa menggantikan porapora. “Kualitas olahannya tidak bagus. Banyak tulangnya. Tidak cocok untuk anak-anak,” ujar Ramlan. Nilai jual bawal pun sangat rendah, hanya Rp500 per kilogram. Upaya lain yang dilakukan pemerintah setempat adalah membentuk kelompok pengawas (pokwas), membuat zona larangan penangkapan Ikan porapora dan rencana pembibitan kembali.

Masyarakat di pesisir Danau Toba tentu saja menantikan lagi masa-masa kejayaan ketika Danau Toba menjadi surga Porapora. Sudah saatnya pemerintah melakukan pengawasan ketat terhadap oknum-oknum nakal yang menangkap ikan dengan cara yang salah agar populasi porapora kembali melimpah.  “Sudah tak ada upaya pelestariannya,” tutur Donna Nainggolan kesal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Nuraini, 31 Tahun Menjadi Tenaga Honorer

Foto: Rezza/Batam Pos Sepuluh Kali Ganti Lurah Tak Kunjung Jadi PNS Statusnya sebagai tenaga honorer kategori K1 sebenarnya membuka peluang lebar bagi Nuraini, 57, untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Namun fakta dan kenyataan di lapangan memaksa dirinya harus mengubur dalam-dalam impiannya itu. Oleh Rico Mardianto Nuraini mengacungkan satu per satu jemarinya seraya bergumam. Sambil sesekali mengerutkan keningnya, dia menyebut nama orang-orang yang pernah menjadi lurah Tanjunguma, Kecamatan Lubukbaja, Kota Batam. ”Sudah sepuluh kali lurah berganti sejak saya kerja di sini,” ucapnya, Kamis (3/3/2016). Lalu tangannya kembali bergelut dengan setumpuk kertas di meja kerjanya. Posisinya di seksi pelayanan umum membuat Nuraini banyak berkutat dengan banyak pekerjaan yang menyita waktu dan tenaganya. ”Sejak awal kerja sampai sekarang saya di kantor ini,” ujar Ani, sapaan akrabnya. Nuraini merantau ke Batam awal Februari 1984. Awalnya ia tinggal di rumah kakakny

Profil Penyair Ramon Damora

Oleh Rico Mardianto Bagi kalangan wartawan dan pegiat sastra di Kepulauan Riau dan Riau, nama Ramon Damora sudah tak asing lagi. Dia adalah wartawan senior dan Ketua PWI Kepulauan Riau dua periode. Dia juga dikenal sebagai penyair yang produktif menulis. Sajak-sajaknya sudah sering menghiasi berbagai media.  Ditemui di suatu sore akhir Januari  2016,  Ramon dan rekan-rekannya sesama wartawan sedang duduk santai sembari nyeruput kopi di sebuah kantin di pojok Gedung Graha Pena Batam lantai tiga. Hari itu dia mengenakan setelan kemeja semi jins dan celana jins biru. Kepada saya , Ramon bercerita masa-masa aktif sebagai jurnalis pers mahasiswa di  Pers Mahasiswa  Gagasan dan seniman di sanggar Latah Tuah IAIN Susqa. Ramon kuliah di Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah. Sebetulnya sang ayah menginginkan Ramon mengikuti jejaknya di dunia militer . Namun, Ramon tak berminat sama sekali jadi tentara dan lebih memilih kuliah di IAIN Susqa Pekanbaru. Di kampus inilah Ram

Melongok Perkampungan Pemulung di TPA Telagapunggur Batam

Foto: Imam Wachyudi/Batam Pos Mengais Rezeki dari Sampah, Sekolahkan Anak ke Universitas B atam yang didesain sebagai kota industri, galangan kapal, pariwisata dan perdagangan menarik warga Indonesia dari berbagai penjuru mengadu nasib. Sebagian perantau yang kurang dibekali keterampilan kalah saing lalu bertahan hidup mengais rezeki dari tumpukan pembuangan sampah. Oleh Rico Mardianto Bulir-bulir keringat terus mengalir dari wajah Indrayani. Matahari bersinar terik di atas ubun-ubun wanita 47 tahun itu, Senin (1/2). Ditambah lagi hawa panas dari sampah yang terbakar di ujung barat tempat pengelolaan akhir (TPA) sampah Telagapunggur. Kepulan asap tebal mengandung racun dari sampah yang terbakar menyebar ke setiap penjuru. Namun Indrayani tak mempedulikannya. Sesekali ia menyeka peluh di wajah dengan punggung tangannya. Bau busuk yang yang menguar dari sampah di sekelilingnya seolah tak terendus lagi olehnya karena sudah menjadi ‘santapan hidung’ sehari-hariny